Kekuasaan Wewenang dan Kepemimpinan.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat Nya
sehingga tugas ini dapat tersusun hingga
selesai. Tidak lupa juga kami ucapkan terimakasih kepada Ibu Shinta
Hartini,S.I.Kom.,M.Si. selaku Dosen Mata Kuliah Sosiologi yang memberikan
bimbingan, saran ide dan kesempatan untuk kami.
Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi
makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan. Oleh karena itu,
kami harapkan kepada pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat
membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Bandung, 11 Januari 2017
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................... i
DAFTAR ISI..................................................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang .................................................................................................. 1
1.2 Tujuan................................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi Kekuasaan Wewenang dan Kepemimpinan......................................... 3
2.2 Contoh Kasus.................................................................................................... 4
2.2.1 Kepemimpinan Kepala
Suku Papua.......................................................... 4
2.2.2
Kepemimpinan Wali Kota Jawa Barat Ridwan Kamil............................. 8
2.2.3
Kepemimpinan Joko Widodo................................................................... 9
2.3 Hubungan Kekuasaan Wewenang dan Kepemimpinan
dengan Sosiologi........ 11
BAB III PENUTUPAN
3.1 Kesimpulan........................................................................................................ 13
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 14
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kekuasaan mempunyai peranan yang dapat menentukannasib berjuta-juta
manusia. Oleh karena itu, kekuasaan (power) sangat menarik perhatian para ahgli
ilmu pengetahuan kemasyarakatan. Sesuai dengan sifatnya sebagai ilmu pengetahuan,
sosiologi tidak memandang kekuasan sebagai sesuatu yang baik atau yang buruk.
Sosiologi mengakui kekuasaan sebagai unsur yang sangat penting dalam kehidupan
suatu masyarakat. Penilaian baik atau buruk senantiasa harus diukur dengan
kegunaannya untuk mencapai suatu tujuan yang sudah ditentukan atau disadari
oleh masyarakat. Karena kekuasaan sendiri mempunyai sifat yang netral, maka
menilai baik atau buruknya harus dilihat pada penggunaannya bagi keperluan
masyarakat. Kekuasaan senantiasa ada di dalam setiap masyarakat, baik yang
masih bersahaja, maupun yang sudah besar atau rumit susunannya. Akan tetapi,
walaupun selalu ada kekuasaan tidak dapat dibagi rata kepada semua anggota
masyarakat. Justru karena pembagian yang tidak merata tadi timbul makna yang
pokok dari kekuasaan, yaitu kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain menurut
kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan.
Adanya kekuasaan cenderung tergantung dari hubungan antara pihak
yang memiliki kemampuan untuk melancarkan pengaruh dengan pihak yang lain yang
menerima pengaruh itu, rela atau terpaksa. Apabila kekuasaan dijelmakan pada
diri seseorang, biasanya orang itu dinamakan pemimpin dan mereka yang menerima
pengaruhnya adalah pengikut. Perbedaan antara kekuasaan dengan wewenang ialah
bahwa setiap kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain dapat dinamakan kekuasaan.
Sementara itu, wewenang adalah kekuasaan yang ada pada seseorang atau
sekelompok orang, yang mempunyai dukungan atau mendapat pengakuan dari
masyarakat. Karena memerlukan pengakuan masyarakat, maka di dalam suatu
msyarakat yang susunannya sudah kompleks dan sudah mengenal pembagian kerja
yang terinci, wewenang biasanya terbatas pada hal-hal yang diliputinya,
waktunya dan cara menggunakan kekuasaan itu. Pengertian wewenang timbul pada waktu
masyarakat mulai mengatur pembagian kekuasaan dan menentukan penggunaannya.
Akan tetapi, tidak ada suatu masyarakat pun di dalam sejarah manusia yang
berhasil dengan sadar mengatur setiap macam kekuasaan yang ada di dalam
masyarakat itu menjadi wewenang. Selain itu, tidak mungkin setiap macam
kekuasaan yang ada dirangkum dalam suatu peraturan dan sebenarnya hal itu juga
tidak akan menguntungkan bagi masyarakat. Apabila setiap masyarakat akan
menjadi kaku karena tidak dapat mengikuti perubahan-perubahan yang senantiasa
terjadi di dalam masyarakat.
Adanya wewenang hanya dapat menjadi efektif apabila didukung dengan
kekuasaan yang nyata. Akan tetapi, acapkali terjadi bahwa letaknya wewenang
yang diakui oleh masyarakat dan letaknya kekuasaan yang nyata tidak di satu
tempat atau satu tangan. Di dalam masyarakat yang kecil dan yang susunannya
bersahaja, pada umumnya kekuasaan yang dipegang oleh seseorang atau sekelompok
orang meliputi bermacam bidang. Kekuasaan itu lambat laun diidentifikasikan
dengan orang yang memegangnya. Contoh yang demikian itu dalam masyarakat
Indonesia terpadat pada masyarakat-masyarakat hukum adat (misalnya desa) yang
letaknya terpencil, dimana semua kekuasaan pemerintahan, ekonomi, dan sosial
dipercayakan kepada para kepala masyarakat hukum adat tersebut untuk seumur
hidup. Karena luasnya kekuasaan dan besarnya kepercayaan yang menyeluruh dari
masyarakat hukum adat kepada kepalanya tadi, pengertian kekuasaan dan
pengertian orang yang memegangnya lebur menjadi satu. Gejala lain dalam masyarakat
yang kecil dan bersahaja tadi adalah tidak adanya perbedaan yang jelas antara
kekuasaan (yang tidak resmi) dengan wewenang (yang resmi).
1.2 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan
penulisan dalam makalah ini adalah agar kita dapat menjelaskan/mendeskripsikan
mengenai wewenang, kepemimpinan dan kekuasaan. Dalam makalah ini juga terdapat
beberapa contoh kasus mengenai wewenang, kepemimpinan dan kekuasaan yang
tujuannya tidak lain agar pembaca lebih memahami mengenai apa yang sedang di
bahas dalam makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Kekuasaan Wewenang dan Kepemimpinan
Kekuasaan
adalah kemampuan menggunakan sumber-sumber pengaruh yang dimiliki seseorang
atau sekelompok orang untuk memengaruhi pihak lain, sehingga pihak lain (yang
dipengaruhi) berperilaku sesuai dengan kehendak atau keinginan pihak yang
memengaruhi ini. Sedangkan kewenangan
atau wewenang merupakan hak moral yang sejalan dengan nilai dan norma
masyarakat untuk membuat dan melaksanakan keputusan publik, sehingga keputusan
ini mencerminkan keinginan orang ini. Hal ini berarti bahwa orang yang
mempunyai kekuasaan publik ini
merupakan pembuat dan pelaksana keputusan yang mengikat kepada anggota-anggota
masyarakatnya.
Perbedaan antara kekuasaan dan kewenangan terletak pada hak moral
untuk membuat dan melaksanakan keputusan publik. Adapun orang yang mempunyai
kekuasaan belum tentu mempunyai hak moral untuk membuat
dan melaksanakan keputusan publik. Adapun orang yang mempunyai kewenangan
berarti mempunyai hak moral ini. Dengan demikian, wewenang yang melekat pada
diri seseorang yang dimaksud bukan hanya terletak pada kepemilikan dan
kemampuan seseorang untuk menggunakan sumber-sumber kekuasaan untuk memengaruhi
perilaku pihak lain. oleh sebab itu, kekuasaan saja tanpa wewenang merupakan
kekuatan yang tidak sah, atau tidak legitimate.
Kepemimpinan (leadership) adalah
kemampuan dari seseorang (yaitu pemimpin atau leader) untuk memengaruhi
orang lain (yaitu yang dipimpin atau pengikutnya), sehingga orang lain ini
bertingkah laku sebagaimana yang dikehendaki oleh pemimpin ini. Munculnya
seorang pemimpin biasanya dengan keadaan kelompok, misalnya kegoncangan
kelompok, ancaman musuh dari luar, atau karena kelompok ini memiliki tujuan
tertentu. Dalam keadaan yang demikian ini kelompok, biasanya anggota kelompok
sedang mengalami kesulitan untuk mengatasi berbagai kesulitan untuk menentukan
langkah-langkah yang harus diambil untuk mengatasi kesulitan ini. Dalam keadaan
yang demikian ini, muncul seseorang yang memiliki kemampuan yang menonjol yang
diharapkan mampu menanggulangi kesulitan yang ada. Dengan demikian, munculnya
seorang pemimpin adalah hasil dari proses yang dinamis yang sesuai dengan
kebutuhan kelompok ini. Jika dalam keadaan ini tidak muncul seorang pemimpin,
biasanya kelompok ini akan mengalami disintegrasi kelompok.
2.2 Contoh Kasus
2.2.1
Kepemimpinan Kepala
Suku Papua
Kepala suku sebagai pemimpin
informal melakukan perannya sesuai dengan tradisi, adat, budaya yang lahir
tumbuh dan berkembang di tanah Papua dari nenek moyang mereka, dimana sudah
menjadi suatu kewajiban untuk tetap mempertahankan kehormatan suku yang
dipimpinnya, sehingga berperang merupakan suatu kehormatan untuk mencapai
kemenangan demi mempertahankan martabat suku yang dipimpinnya.
Kepemimpinan
tradisional di Papua terdiri dari beberapa tipe, yaitu tipe kepemimpinan pria
berwibawa, tipe kepemimpinan ondoafi/kepala suku, kepemimpinan raja, dan sistem
kepemimpinan campuran (Mansoben, 1995).
a. Sistem Kemimpinan Campuran
Soeprapto (2013) mengungkapkan bahwa sistem
kepemimpinan campuran merupakan tipe kepemimpinan yang muncul dari individu-individu yang
tampil sebagai pemimpin atas dasar kemampuannya sendiri, atau atas dasar
keturunan. Tipe yang bersifat campuran yaitu antara tipe kepemimpinan pria
berwibawa, tipe kepemimpinan raja dan tipe kepemimpinan klen. Tipe
kepemimipinan tersebut terdapat di daerah Papua, diantaranya pada suku-suku di
kawasan Teluk Cenderawasih, seperti di Biak, Yapen dan Waropen. Mensoben, (1995) menjelaskan bahwa
sifat-sifat utama yang dijadikan kriteria pokok dalam kepemimpinan campuran
yaitu sifat pewarisan kedudukan pemimpin yang terdapat pada sistem kepemimpinan
raja dan ondoafi, dan sifat pencapaian kedudukan pemimpin yang terdapat pada
sistem kepemimpinan pria berwibawa.
b.
Sistem
Kemimpinan Ondoafi
Soeprapto
(2013) mengungkapkan bahwa sistem kepemimpinan ondoafi merupakan sistem
kekuasaan politik yang bersifat pewarisan. Bonefasius (2012) menjelaskan
bahwa kepemimpinan ondoafi memiliki
beberapa modal yang kuat untuk dikelola bagi kepentingan dirinya maupun bagi
warga. Modal-modal kekuasaan tersebut antara lain adalah modal sosial, modal simbolik dan modal
material. Modal-modal itu tercover dari sumber-sumber kekuasaannya sehingga
merupakan bagian yang terintegratif tidak terpisah satu sama lainnya. Modal-modal tersebut tidak bekerja
sendiri-sendiri tetapi hadir bersamaan. Ondoafi mengkonversi salah satu modal
menjadi modal lainnya sehingga ada relasi yang logis dengan kekuasaan dia. Modal-modal
ini diproduksi dan dipertukarkan satu sama lain. Ondoafi merevitalisasi modal
materialnya dari peran sebagai produsen yang menguasi banyak tanah dan
dipergunakan bagi warganya, sehingga dengan demikian dia mendapat
kepatuhan/kepercayaan dari warga yang beraktifitas di atas tanah tersebut.
Dengan pemberian, pengaturan dan pemanfaatan sumber daya ekonomi kepada
masyarakat, kepercayaan dapat hadir mengikutinya. Begitupun status dan otoritas
Ondoafi sebagai rujukan modal simbolik merupakan implikasi sebagai elit
kultural yang menguasai sumber daya material dan harta-harta bernilai dalam
masyarakat dan menjadikannya sebagai alat pengikat sekaligus pengabsahan
kekuasaan. Atribut-atribut kebesaran yang melekat pada dirinya merupakan simbol
bagi dia untuk menjalankan kekuasaanya. Warga masyarakatnya masuk dalam
struktur yang dikuasai penuh oleh Ondoafi, karena berbagai atribut-atribut
kebesaran menjadi orientasi bagi warga dalam menjalani hidup kesehariannya.
Mensoben, (1995) mengungkapkan bahwa struktur kepemimpinan
dalam sistem ondoafi terbagi atas tiga tingkat, yaitu tingkat klen kecil
(imea), tingkat kampung (yo) dan tingkat konfederasi. Terdapat
tiga pengertian yang terkandung dalam konsep tingkat klen kecil. Pertama adalah
kesatuan sosial terkecil yang berbentuk keluarga terdiri dari suami, isteri dan
anak-anak, kedua adalah rumah tempat tinggal satu keluarga, dan ketiga
adalah gabungan dari beberapa keluarga
inti yang dapat secara jelas menunjukkan asal keturunannya secara patrilineal
dari nenek moyang yang sama.
Pengertian tingkat kampung (yo) adalah komunitas kecil yang terdiri dari satu atau
lebih kelompok kekerabatan berupa gabungan dari klen-klen kecil, imea,
yang asal usulnya dapat ditarik dari nenek moyang yang sama atau juga merupakan
gabungan dari klen-klen kecil yang bukan berasal dari satu nenek moyang.
Sedangkan penjelasan tentang tingkat konfederasi adalah gabungan dari beberapa
kampung yang mengakui kekuasaan seorang pemimpin yang ada sebagai pemimpin
besarnya. Sesuatu hal yang mendasari beberapa kampung untuk membentuk satu
konfederasi bersama bersumber dari faktor sejarah penduduknya, sedangkan adapun
tujuan dari pembentukan tingkat konfederasi adalah untuk pencapiaan kepentingan
bersama dari beberapa kesatuan politik yo yang berbeda.
Secara prinsip semua jabatan dalam sistem kepemimpinan
ondoafi baik di tingkat klen kecil, kampung maupun di tingkat
konfederasi merupakan jabatan seumur hidup dan diwariskan secara patrilineal.
Menurut ketentuan adat proses alih kepemimpinan terjadi apabila seseorang
fungsionaris tidak dapat lagi menjalankan tugasnya karena meninggal dunia, atau
karena tidak melaksanakan kewajibannya dengan baik atau melakukan pelanggaran terhadap
norma-norma adat (Mensoben, 1995). Syarat-syarat untuk menjadi seorang pemimpin
ondoafi adalah pertama harus berasal dari keturunan nenek moyang mitos
pendiri kampung. Kedua harus memiliki pengetahuan yang luas dan dalam tentang
adat istiadat masyarakat setempat serta memiliki sikap jujur dan sopan santun.
Ketiga, seorang pemimpin ondoafi harus memiliki sikap mengayomi.
Keempat, seorang ondoafi harus pandai berorganisasi, sebab ia harus
mengkoordinasikan berbagai bidang kegiatan yang dilaksanakan oleh para
pembantunya.
c.
Sistem Kepemimpinan Raja
Kepemimpinan raja merupakan sistem yang dianut dari
kerajaan Tidore yang berkuasa pada saat itu di kepulauan raja Ampat. Sistem ini
menghargai seorang raja yang diperoleh berdasarkan garis keturunan. Kewibawaan
dan otoritas seorang raja pada waktu lalu adalah sangat besar, hal ini
tercermin dalam kepatuhan yang ditunjukkan oleh rakyatnya terhadap keputusan,
peraturan yang dikeluarkan oleh raja. Dalam kepemimpinan raja terdapat struktur
organisasi yang jelas dan pembagian kerja yang jelas berdasarkan bagian-bagian
struktur tersebut. Sistem kerajaan di papua terdapat pada beberapa wilayah,
yaitu Kepulauan Raja Ampat, Fakfak, dan Kaimana. Pada umumnya menurut tradisi
di seluruh Kepulauan Raja Ampat terdapat tiga golongan masyarakat. Golongan
pertama adalah golongan bangsawan. Golongan kedua adalah golongan rakyat bebas
dan golongan ketiga adalah golongan budak. Golongan bangsawan adalah golongan
yang menduduki lapisan atas dalam stratifikasi sosial dari masyarakat. Golongan
rakyat bebas atau rakyat merdeka dalam bahasa Ma'ya disebut bala, artinya
rakyat. Mereka ini digolongkan ke dalam tiga sub golongan. Sub golongan pertama
adalah orang-orang yang berasal dari semua gelet atau klen kecil yang
nenek moyangnya bersama-sama dengan raja pertama mendirikan suatu kerajaan
tertentu. Golongan kedua adalah para pendatang yang melalui hubungan perkawinan
sudah lama menetap dengan penduduk di pusat kedudukan raja.
d.
Konsep Pria Berwibawa/ Big Man
Konsep pria
berwibawa atau big man berasal dari terjemahan bebas terhadap
istilah-istilah lokal yang digunakan oleh penduduk setempat untuk menamakan
orang-orang penting dalam masyarakatnya sendiri. Konsep pria berwibawa digunakan untuk satu bentuk atau tipe
kepemimpinan politik yang diciri oleh kewibawaan (authority) atas dasar
kemampuan pribadi seseorang untuk mengalokasi dan merealokasi sumber-sumber
daya yang penting untuk umum (Sahlins, 1963). Strathern dalam Mensoben, (1995)
mengemukakan bahwa ada dua arena yang digunakan untuk merebut kedudukan pria
berwibawa, yaitu hubungan intern dan hubungan ekstern. Hal yang dimaksud dengan
hubungan intern adalah usaha seseorang untuk memperoleh dan meningkatkan
pengaruh serta keunggulannya didalam klen sendiri. Sedangkan hubungan ekstern
diartikan sebagai keberhasilan seseorang untuk menjalin hubungan dengan
pihak-pihak luar yang terdiri dari sekutu, bekas musuh dan hubungan antar pria
berwibawa. Pada umumnya individu-individu yang berhasil di dua arena tersebut
diakui sebagai pria berwibawa utama dan yang dapat menduduki posisi superior
untuk bertahun-tahun lamanya.
Ciri umum lain yang biasanya digunakan untuk
membedakan sistem politik pria berwibawa dari sistem-sistem politik yang lain
adalah bahwa pada sistem pria berwibawa tidak terdapat organisasi kerja dengan
pembagian tugas di antara para pembantu pemimpin. Mensoben, (1995) menyatakan
bawa prinsip dasar dari sistem pria berwibawa adalah achievement yang berdasarkan kualitas kemampuan
perorangan sebagai tolok ukur untuk mengukur kemampuan seseorang agar menjadi
pemimpin. Chowning dalam Mensoben, (1995) menjelaskan bahwa kedudukan pemimpin
harus didukung oleh atribut kekayaan dan
sikap yang murah hati. Sikap tersebut harus dinyatakan melalui tindakan nyata,
seperti memberikan sumbangan. Mauss berpendapat bahwa pemberian itu mengandung
apa yang disebut olehnya sendiri total prestation. Total prestation adalah
bahwa selain bentuk nyata dari benda (obyek) yang diberikan, terkandung pula di
dalamnya unsur-unsur lain berupa unsur ekonomi, unsur religi, unsur hukum,
unsur keindahan dan unsur politik. Secara keseluruhan semuanya itu membentuk
kekuatan pengikat dan sekaligus merupakan kekuatan pendorong bagi pihak
penerima untuk melakukan sesuatu kembali secara langsung atau tidak langsung
dalam bentuk benda atau jasa kepada pihak pemberi.
Sahlins (1963) menjelaskkan bahwa syarat-syarat lain yang harus dipenuhi oleh
seorang pemimpin pria berwibawa adalah harus menunjukkan kecakapan-kecakapan
tertentu, misalnya pandai bertani, pandai berburu, pandai berdiplomasi dan
pandai berpidato, memiliki kekuatan magis, pandai memimpin upacara-upacara
ritual dan berani memimpin perang.
Berbagai atribut yang diberikan kepada seorang pria
berwibawa seperti tersebut di atas seringkali menyebabkan adanya kesan umum,
seolah-olah seorang big man harus memiliki semua atribut tersebut.
Mensoben, (1995) mengungkapkan bahwa secara empiris unsur-unsur yang merupakan
atribut bagi pemimpin pria berwibawa itu berkaitan sangat erat satu sama lain
sehingga sulit untuk dipisah-pisahkan, namun secara analisis pembagian
berdasarkan urutan pentingnya atribut-atribut itu dapat dilakukan. Pembagian
tersebut penting sebab memberikan pengertian yang lebih tajam tentang
corak-corak khas sistem kepemimpinan pria berwibawa, sehingga dapat membuat
suatu paradigma tentang sifat-sifat yang merupakan sifat pokok pada
masyarakat-masyarakat yang berbeda, maka akan terbukalah perspektif baru bagi
kita untuk bertanya apa yang menjadi dasar persamaan atau perbedaan.
2.2.2 kepemimpinan Wali Kota Jawa Barat Ridwan
Kamil:
A. Gaya Kepemimpinan Demokratis/Democratic
A. Gaya Kepemimpinan Demokratis/Democratic
Gaya
kepemimpinan demokratis adalah gaya pemimpin yang memberikan wewenang secara
luas kepada para bawahan. Setiap ada permasalahan selalu mengikutsertakan
bawahan sebagai suatu tim yang utuh. Dalam gaya kepemimpinan demokratis
pemimpin memberikan banyak informasi tentang tugas serta tanggung jawab para
bawahannya.
Melalui gaya
kepemimpinan seperti ini semua permasalahan dapat di selesaikan dengan
kerjasama antara atasan dan bawahan. Sehingga hubungan atasan dan bawahan bisa
terjalin dengan baik.
Menurut kami,
Ridwan Kamil merupakan pemimpin yang menerapkan gaya kepemimpinan demokratis.
Ridwan Kamil merupakan sosok yang selalu memberikan wewenang secara luas kepada
para bawahan. Setiap ada permasalahan ia mengikutsertakan bawahan untuk
menyelesaikan masalah yang ada. Kota Bandung sekarang sudah mulai banyak
perubahan semenjak dipimpin oleh sosok Ridwan Kamil. Ditangan Ridwan Kamil,
Kota Bandung sudah mulai menunjukkan suatu impian yang diimpikan oleh
masyarakat Bandung. Kota Bandung sekarang menjadi kota bersih dan hijau, serta
program – program yang dibuat oleh Ridwan Kamil kepada masyarakat kota Bandung.
Kelebihan gaya
kepemimpinan ini ada di penempatan perspektifnya. Banyak orang sering kali
melihat pada satu sisi hanya melihat sisi keuntungan dirinya dan sisi
keuntungan lawanya. Tapi pemimpin yang putih saja yang dapat melihat keduanya.
B. Gaya Kepemimpinan Moralis
Kelebihan dari
gaya kepemimpinan seperti ini adalah umumnya Mereka hangat dan sopan kepada
semua orang. Mereka memiliki empati yang tinggi terhadap permasalahan para
bawahannya, juga sabar, murah hati Segala bentuk kebajikan ada dalam diri
pemimpin ini. Orang – orang yang datang karena kehangatannya terlepas dari
segala kekurangannya.
Kelemahan dari
pemimpinan seperti ini adalah emosinya. Rata-rata orang seperti ini sangat
tidak stabil, kadang bisa tampak sedih dan mengerikan, kadang pula bisa sangat
menyenangkan dan bersahabat.
2.2.3
Kepemimpinan Joko Widodo
Belum genap setahun menjadi Kepala Daerah DKI Jakarta Raya,
Indonesia, Gubernur Joko Widodo — atau lebih populer dipanggil Jokowi, telah
melakukan berbagai tindakan yang fenomenal, baik di bidang tata pemerintahan
maupun pelayanan publik. Langkah-langkah Jokowi yang kadang susah ditebak ini
pada hakekatnya dilakukan untuk kepentingan masyarakat. Model kepemimpinan
seperti inilah yang selama ini didambakan masyarakat Indonesia, dan oleh karena
itu menarik untuk dianalisis berdasarkan bukti-bukti nyata dan latar-belakang
teoritis.
Menurut Robert Greenleaf (1970): “Only a true natural servant
(leaders) automatically respond to any problem by listening first.” Mendengar
secara aktif, bukan pasif, adalah ketrampilan kepemimpinan yang ampuh untuk
menunjukkan perhatian kepada masyarakat. ‘Listening’ atau mau mendengarkan
saran atau pendapat orang lain mungkin ciri paling menonjol dalam kepemimpinan
Jokowi, baik saran dari narasumber, stakeholders, stafnya, maupun keluhan
masyarakat.
Sewaktu menjabat Walikota Solo, Jokowi pernah mengganti salah
seorang Kepala Dinasnya karena dianggap kurang empati terhadap masyarakat.
‘Empathy’ atau ikut merasakan perasaan atau penderitaan orang lain adalah
karakteristik lain kepemimpinan Jokowi yang menonjol. Ketika terjadi banjir besar
Jakarta tahun 2012 lalu, Jokowi langsung terjun ke lokasi bencana. Selain untuk
menentukan bantuan yang perlu diberikan, sebagai Gubernur Jokowi juga ikut
merasakan penderitaan masyarakat korban banjir.
Awareness’ Jokowi terhadap budaya setempat juga patut diapresiasi
ketika ia memelopori pemakaian busana Betawi selama jam kerja. Tanpa kesadaran,
kata Greenleaf (1970), “We miss leadership opportunities.” ‘Awareness’ atau
kesadaran sangat kental pada kepemimpinan Jokowi. Sewaktu memberikan sambutan
pada perayaan Ulang Tahun Jakarta ke-64 yang lalu, Jokowi minta maaf karena
sebagai ‘wong Solo’ ia menyadari kekurang-fasihannya melafalkan dialek Betawi.
Seperti dikatakan Ted Johns (2008) : ‘A leader takes people where
they want to go. A great leader takes people where they don’t necessarily want
to be, but ought to be.’ ‘Direction’ atau arahan kepada pegawai tentang
bagaimana bekerja secara professional sering dilakukan Jokowi pada waktu
melakukan ‘sidak’ ke lapangan. Kebiasaan ini mampu meningkatkan kinerja pegawai
di lingkungan Pemda DKI, terutama dalam melaksakana tugas-tugas pemerintahan
dan pelayanan publik.
Menurut Greenleaf
(1970): “Effective servant-leader builds group consensus through ‘gentle but
clear and persistent persuasion, and does not exert group compliance through
position power’.” ‘Effectiveness’ atau berorientasi pada hasil dilakukan Jokowi
dengan mengawali dengan membangun konsensus bersama, kemudian membagi tugas
secara jelas, dan selanjutnya memantau pelaksanaan pekerjaan hingga berhasil
semua yang direncanakan. Ini terlihat ketika Jokowi menangani permasalahan yang
menghambat pembangunan Waduk Pluit bulan Juni 2013 lalu.
Tetapi seperti dikatakan John Garner (1990): "What leaders
have to remember is that somewhere under the somnolent surface is the creature
that builds civilizations, the dreamer of dreams, the risk taker." Memilih
untuk menjadi Gubernur Jakarta dibanding kenyamanan sebagai Walikota Solo jelas
membuktikan bahwa Jokowi seorang ‘risk-taker.’ Di samping banjir dan kemacetan,
beragam permasalahan telah melanda Jakarta selama bertahun- tahun seperti
kemiskinan, kekumuhan dan kebakaran yang merupakan indikasi minimnya pelayanan
publik dan korupsi yang merajalela.
Kata Grrenleaf (1970): “Organizational stewards, or ‘trustees’ are
concerned not only for the individual followers within the organization, but
also the organization as a whole, and its impact on and relationship with all
of society.” ‘Stewardship’ atau memberikan kenyamanan kepada masyarakat
merupakan strategi Jokowi untuk memperoleh ‘trust’ dari mereka. Gak heran kalau
Jokowi segera mendapat julukan sebagai ‘Warga Betawi,’ ‘Teman Wartawan,’ atau
Pelindung Masyarakat.
Strategi ‘blusukan’ ke jantung masyarakat yang dilakukan Jokowi
jelas dimaksaudkan untuk ‘healing’ sehingga keluarlah kebijakan- kebijakan yang
pro-rakyat, seperti Kartu Jakarta Sehat, Relokasi ke Rusun, Pesta Rakyat
Betawi, dll. ‘Healing,’ yang didefinisikan oleh Greenleaf (1970) sebagai “to
make whole,” dilakukan pemimpin dengan mengenali dan memahami kebutuhan
masyarakat yang sesungguhnya sehingga bantuan yang diberikan sesuai dengan
kepentingan mereka.
“Innovation,“ menurut Green,
Howells 12 & Seleksi terbuka camat dan lurah serta jabatan
Eselon II dan III di lingkungan Pemda DKI yang dilaksanakan bulan Juni 2013
lalu merupakan bukti inovasi Jokowi untuk memperbaiki praktek dan proses
pemerintahan guna memberikan pelayanan publik yang terbaik kepada warga
Jakarta.Miles (2002), adalah “melakukan sesuatu yang baru, seperti memulai
praktek atau proses, menciptakan produk (barang atau layanan) baru, atau
mengadopsi suatu pola hubungan antar atau inter- orhanisasi.”
Kepiwaian Jokowi dalam melakukan persuasi sudah terbukti sejak ia
menjabat Walikota Solo, dan dilanjutkan ketika membujuk sekitar 7.000 Kepala
Keluarga yang tinggal di Waduk Pluit untuk pindah ke tempat yang lebih layak.
Gaya kepemimpinan ini juga diterapkan Jokowi ketika melakukan penatanan PKL di
Pasar Minggu, Pasar Jatinegara, Glodok, dan Tanah Abang. “Persuasion,” kata
Craig van Slyke (2013), adalah “kunci ketrampilan kepemimpinan yang mampu
merubah sikap, perilaku, bahkan keyakinan pihak lain.”
karakteristik kepemimpinan yang telah didiskusikan menunjukkan
bahwa model kepemimpinan Jokowi cenderung mengarah ke ‘Servant Leadership.’
Dicetuskan pada tahun 1970 oleh Robert Kiefner Greenleaf (1904-1990), ‘Servant
Leadership’ merupakan kerangka kerja teoritis yang mengutamakan pelayanan
kepada masyarakat sebagai motivasi kunci seorang pemimpin. Selain itu, tambah
Larry Spears (1966), ‘Servant Leadership’ menekankan pendekatan holistik kepada
pekerjaan, kepekaan terhadap kepentingan masyarakat, dan pembagian kekuasaan
dalam pengambilan keputusan.Robert Kiefner Greenlea 14.
2.3 Hubungan
kekuasaan, wewenang, dan kepemimpinan dengan sosiologi
A. Kekuasaan
Sosiologi tidak
memandang kekuasaan sebagai suatu yang baik atau buruk, namun sosiologi
mengakui kekuasaan sebagai unsur yang penting dalam kehidupan suatu masyarakat.
Kekuasaan ada dalam setiap bentuk masyarakat, baik yang bersahaja maupun
masyarakat yang kompleks. Adanya kekuasaan tergantung dari hubungan antara yang
berkuasa dan yang dikuasai, atau dengan perkataan lain, antara pihak yang
memiliki kemampuan untuk melancarkan pengaruh dan pihak lain yang menerima
pengaruh itu, dengan rela atau karena terpaksa.
B. Wewenang
Dimana –mana
juga ada wewenang namun tidak selalu berada dalam satu tangan dengan kekuasaan.
Wewenang dimaksudkan sebagai suatu hak yang telah ditetapkan dalam tata tertib
sosial untuk menetapkan kebijaksanaan, menentukan keputusan-keputusan mengenai
masalah-masalah penting, dan untuk menyelesaikan pertentangan-pertentangann.
Dengan kata lain, seseorang yang mempunyai wewenang bertindak sebagai orang
yang memimpin atau membimbing orang banyak
C. kepemimpinan
Seorang
pemimpin di muka harus memiliki idealisme kuat, serta kedudukan. Akan tetapi,
menuntut watak dan kecakapannya, seorang pemimpin dapat dikatakan sebagai
pemimpin dimuka, ditengah, dan dibelakang (front leader, social leader, dan
rear leader). Bahaya bagi pemimpin dimuka adalah kemungkinan berjalanya terlalu
cepat sehingga masyarakat yang dipimpinnya tertinggal jauh.
Seorang pemimpin yang ditengah mengikuti kehendak yang dibentuk masyarakat. Ia
selalu dapat menggamati jalanya masyarakat, serta dapat merasakan suka dukanya.
Pemimpin yang dibelakang diharapkan mempunyai kemampuan untuk mengikuti
perkembangan masyarakat.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dasar dari paparan makalah ini adalah menjelaskan kepada para
pembaca, bahwa di dalam komunitas mulai dari yang masih hidup secara sederhana
sampai yang kompleks tidak akan pernah lepas dari pola hubungan antara anggota
masyarakat dan pihak yang memiliki hak-hak
tertentu yang menentukan arah perjalanan kehidupan sosial mereka. Seorang
pemimpin lahir di dalam komunitas tidak begitu saja muncul secara tiba-tiba. Ia
muncul melalui berbagai babak kualifikasi yang ketat, agar menjadi orang yang
memiliki hak-hak istimewa ini. Hal ini tentu lepas dari apakah kualifikasi
bersifat informal maupun formal, prosedural maupun instrumental.
Pemahaman akan model struktur sosial masing-masing kelompok mesti
harus dijadikan dasar pemahaman untuk dapat menarik kepercayaan masyarakat yang
akan dipimpinnya. Manusia bijak adalah manusia yang memiliki pemahaman tentang
pola-pola kehidupan sosial masing-masing kelompok dan memiliki kemampuan
mengambil hikmah dari pola-pola ini untuk dijadikan dasar-dasar pemikiran untuk
menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul di dalamnya.
Karakter kepribadian pemimpin suatu negara tentu berbeda dengan
karakter pemimpin suatu perusahaan atau organisasi sosial lainnya. Untuk itu,
manusia bijak yaitu mereka yang mampu menarik simpati masyarakatnya berkat
pemahamannya tentang struktur budaya ini dijadikan pijakan untuk mengambil
keputusan yang mengikat masyarakat yang dipimpinnya. Selain itu, manusia bijak
dapat dilihat dari bagaimana tingka kemahirannya memanfaatkan potensi dirinya di
dalam masyarakat untuk memberikan keputusan yang sesuai dengan apa yang menjadi
dasar falsafah pemikiran masyarakatnya, bukan memaksakan kehendak kulturnya
kepada masyarakat lain, sebab tiap-tiap kelompok memiliki otonomi untuk
menentukan arah perjalanan kelompoknya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
M. Setiadi,
Elly dan Usman Kolip.2011. Pengantar Sosiologi.Jakarta : Kencana.
Sumber Artikel
Online :
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/politico/article/view/3410/0
Harrah's Cherokee Casino Hotel & RV Park Information
BalasHapusHarrah's Cherokee Casino Hotel & 경상북도 출장샵 RV Park Information · 1.7 miles to 아산 출장안마 Harrah's Cherokee · 2.2 miles to Harrah's Cherokee 인천광역 출장샵 · 3 충주 출장마사지 miles to Harrah's Cherokee Casino and 세종특별자치 출장샵 Hotel